Hari Jumat, hari baru di bulan Oktober 2021. Aku mendapat tempat bersama seorang teman untuk membersihkan ruang makan. Cukup menguras tenaga karena banyak yang harus dibersihkan dan disiapkan untuk acara pelantikan nanti malam. Tapi, poin utamanya bukan itu yang ingin ku ceritakan. Saat sedang membersihkan lemari yang berisi peralatan makan, tiba-tiba Bruder datang dan menyuruhku mengambil buku yang sudah dicetak di tempat percetakan. Saat itu aku merasa sedikit jengkel dan ada rasa keluh, karena harus membagi waktu lagi dan mempercepat dalam membersihkan ruang makan setelah mengambil buku tersebut. Akhirnya, dengan berusaha seikhlas mungkin aku menjalankannya.
Dengan menaiki sepeda onthel aku menuju ke tempat percetakan, jaraknya pun cukup jauh jika dijangkau dengan sepeda. Matahari pun cukup terik hingga membuat aku mau tidak mau mengayuh onthel dengan cepat, namun dengan hati-hati pastinya. Aku pun tiba di tempat dan langsung masuk untuk mengambil buku tersebut. Bapak yang pernah ku temui dua hari yang lalu sudah siap di tempat, ia berdiri sambil mengambil tumpukan buku yang berada di lemari. Dengan muka ramah aku mulai menyapanya terlebih dahulu dan bapak balik menyapaku. Ia juga menunjukan nota yang di situ tertulis dengan jelas angka sebesar Rp200.000. Aku kaget karena hanya membawa uang Rp100.000, lalu dengan segera menyerahkan uang yang sedang ku pegang dan berkata “Wah pak uangnya kurang, saya pergi balik lagi ya pak buat minta uang yang kurang”
Ada perasaan jengkel lagi, karena membawa uang pemberian Bruder yang nyatanya kurang dari setengah harganya. Ya, mau tidak mau harus balik dan mengayuh dua kali lebih cepat lagi; supaya bisa cepat selesai dan aku pun bisa melanjutkan tugas membersihkan ruang makan. Jujur, saat itu aku kelelahan, mungkin ada rasa di bagian otot paha yang mengencang karena sudah lama tidak bersepeda kembali. Setelah sampai aku langsung menemui Bruder dan meminta uang yang kurang untuk membayar bukunya. Dia sempat kaget mendengar harga sepenuhnya, lalu dia mengambil uang tersebut dari saku celananya dan langsung memberikannya kepadaku.
Lagi dan lagi, aku langsung mengayuh sepeda dengan cepat sambil menahan rasa sakit karena otot paha yang mulai mengencang. Aku tiba lagi di tempat percetakan. Kini tiga bapak-bapak menatapku, mungkin alasannya kasihan kepada diriku karena saat itu aku terlihat ngos-ngosan. Kini menyapa lagi bapak tersebut dan bersama teman-temannya yang terlihat nampak sebaya. Langsung saja aku memberikan uang kertas berwarna merah kepada bapak yang tadi bertemu dengan ku diawal dan dua hari yang lalu. Saat meletakan uangnya di atas etalase, secara tiba-tiba dia mengeluarkan uang berwarna ungu sambil memberikan buku yang akan ku bawa. “ Ini buat mas, kasian soalnya bolak-balik. Buat beli minum, pasti haus kan ?” Aku kaget mendengar perkataan itu yang masuk ke dalam telinga, juga ada perasaan senang sekali. Aku sempat berdiam di tempat selama beberapa detik dengan muka kebingungan. Setelah sadar, aku mengucapkan terima kasih kepada bapak tersebut.
Ketika keluar dari tempat itu dan berdiri di samping sepeda, aku mulai memikirkan minuman apa yang ingin dibeli untuk menghilangkan dahaga di tengah teriknya matahari. Tapi, tiba-tiba aku tersadarkan. Aku berpikir bahwa uang yang sedang ku pegang ini bukan milikku tetapi milik komunitas dan harus dikembalikan. Di situ aku bergelut cukup lama sekali, hingga tanpa sadar aku pun sudah mengendarai sepeda dan mulai melupakan rasa panas matahari. Pikiran masih bergelut dengan hati yang kurasakan. Tanpa sadar, aku melihat seorang pemulung mengenakan baju merah dan celana coklat sambil membawa karung yang penuh dengan gelas-gelas. Pakainnya compang-camping. Bahkan, cara jalan kakinya diseret. Melihat cara jalannya begitu, aku jadi tersadarkan dan teringat dengan dua sosok yang cara jalannya seperti itu. Ayahku dan Rm. Yuli (Direktur Pranovisiat). Sangat mengetuk pintu batinku sekali, melihat bapak pemulung yang jalannya seperti itu ditambah dengan pekerjaannya yang demikian.
Dengan memenangkan untuk tidak mementingkan ego diriku supaya rasa haus hilang, aku berniat untuk memberikan uang yang sedang kupegang kepada bapak itu. Lagi-lagi pikiran tentang pergulatan uang ini muncul. Kini aku harus menentukan dua pilihan, apakah aku harus mengembalikan uang ini kepada Bruder karena ku rasa uang ini adalah uang komunitas; atau aku memberikan uang ini kepada bapak pemulung itu. Di situ aku sempat berhenti lima meter dari jarak bapak yang cara jalannya sudah ku jelaskan tadi.
Di situ aku mulai menimbang-nimbang untuk menentukan pilihan apa yang harus kulakukan. Tiba-tiba aku jadi kelelahan dan terasa haus, lalu saat itu secara spontan aku teringat bapak yang memberikan uang kepadaku karena melihat diriku kelelahan. Dia sempat mengatakan “Ini buat mas, buat beli minum” Pikiran itu muncul dan aku mulai membayang-bayangkan bagaimana ketika menjadi seorang bapak yang sudah memberikan uang kepada pemuda berumur 19 tahun, namun oleh pemuda itu diberikan lagi kepada seorang pemulung yang kondisinya demikian dan terlihat lapar juga lemas. Saat membayangkan menjadi seorang bapak tukang percetekan, aku merasa terharu dan bahagia, sangat teramat bahagia dan terharu. Tiba-tiba aku merasa pikiran dan hatiku seperti saling sejalan dan tersambung. Aku tahu apa yang akan kulakukan. Aku akan memilih yang sudah pasti benar dan tepat. Ya benar, memberikannya kepada bapak pemulung itu.
Akan tetapi tiba-tiba aku tersadar saat itu dia terlihat lapar dan lemas. Dia hanya membawa gelas plasitk yang berisi recehan lalu disodorkan ke orang-orang, cukup banyak kata maaf dan penolakan yang diterima oleh bapak tersebut karena saking lamanya bergulat dengan hati dan pikiran. Akhirnya aku tahu apa yang harus kulakukan.
Sepeda langsung ku goes perlahan-lahan dan mulai meninggalkan bapak pemulung itu. Sekarang, posisi ku berada jauh di depannya. Aku meninggalkan bapak pemulung itu. Sambil pelan-pelan menggoes, mataku mencari-cari orang yang sedang berjualan. Tukang pertama yang kudatangi adalah es doger. Namun, saat hendak membeli penjualnya mengatakan kepadaku, bahwa es dogernya belum diantar. Aku langsung menggoes dan mencari-cari lagi orang yang sedang berjual.
Tanpa sadar aku kehilangan jejak bapak pemulung itu. Aku berhenti dan menunggu dirinya. Setelah beberapa detik akhirnya dia muncul. Tanpa sadar aku berhenti bersebrangan dengan seorang ibu yang menjual makanan. Ibu itu nampak heran karena melihatku berdiri cukup lama di sebrangnya. Aku juga melihat Ibu itu sudah sangat lama menunggu pembelinya, bahkan sudah dua kali melintasi dagangannya tidak ada satupun yang hendak membeli makanan tersebut.
Bapak pemulung itu perlahan-lahan mulai kelihatan warna merah yang memenuhi bajunya. Aku pun langsung menggoes sepada untuk menyebrang ke tempat ibu itu. “Bu di sini ada makanan yang harganya Rp10.000 nggak ?” Saat bertanya aku dengan jelas melihat wajah ibu itu nampak senang karena ada pembeli yang datang. “Ohh banyak itu mass, apa sini biar saya siapkan” katanya kepadaku. Aku melihat cukup banyak sekali makanan kecil dan makanan tradisional yang terletak di atas meja dan ditutupi oleh payung.
“Ibu, saya beli Rp10.000 aja bu, tapi saya minta tolong sama ibu buat dikasih ke bapak-bapak itu” kataku sambil menunjuk bapak yang sudah terlihat dekat. Aku melihat dengan jelas ibu itu kaget sekali lalu tiba tiba dia merasa bersemangat sekali untuk menyiapkan makanan yang beberapa dikemas dengan plastik dan daun pisang. “Insya Allah mas, percaya aja sama saya, pasti saya kasih ke orangnya” Ibu itu mengatakan demikian dan ku lihat menggebu-gebu sekali. Aku langsung meninggalkan ibu tersebut dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Aku merasa sangat yakin sekali, yakin seyakinnya bahwa penjual itu akan memberikan lebih makanannya dari uang yang kuberikan sebesar Rp 10.000.
Dengan perasaan bahagia aku mulai menggoes kembali onthel yang sedang ku kendarai. Panas matahari sudah terlupakan olehku. Akupun tiba kembali di seminari. Setelah itu langsung mengembalikan sepeda ke tempat semula, dan membersihkan kembali ruang makan.
Mario Avellino Darma Utama
Pranosiat OMI